10 tahun terakhir kita disibukan dengan bagaimana cara untuk sebuah brand bisa masuk kedalam aktifitas keseharian konsumen, dan 10 tahun itu juga social media menjadi bareng yang ampuh untuk brand masuk ke konsumen tetapi juga menjadi media yang sangat rentan, karena social media bagaikan hutan rimba yang siap menerjang siapapun yang berbuat salah.
Hampir setiap tahun dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, kita khususnya warga negara Indonesia selalu terombang ambing dengan banyaknya social media baru, mulai dari Facebook sampai yang paling kekinian yaitu Snapchat dan Tinder. Jangankan manusia seperti saya, brand hingga media seolah-olah berlomba selalu mengadaptasi bagaimana cara mereka tetap bisa masuk di keseharian konsumen.
Memang social media kini seperti pisau bermata dua, dimana sebuah social media tim membutuhkan manpower yang tidak sedikit, tingkat kreatifitas yang tinggi dan diwajibkan selalu berfikir strategis yang selalu dihadapkan dengan result atau efektifitas social media.
Namun itulah social media, dunia yang dinamis dan tiada akhir, karena social media kini berevolusi menjadi social messaging!
Hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Digital Indonesia (IDA), messaging apps merupakan spent time tertinggi ketika orang mengakses smartphone, setelah itu baru social media.
Ini merupakan sebuah pergeseran yang sudah diprediksi dan menjadi keunikan sendiri, ketika social media menawarkan one to many, messenger menawarkan personal to personal yang membuat semua pesan harus disesuaikan dengan setiap individu yang akan menerima pesan tersebut.
Jadi menurut saya, 2016 ini merupakan tahun kebangkitan social messaging, seperti halnya yang kompas.com lakukan dengan masuk ke LINE , tempat dimana berkumpulnya anak muda yang berkomunikasi melalui stiker dan emoji.