Teman Danika (Mengenal Sistem Ventrikel)

Tulisan ini merupakan seri pengalaman kami (saya, istri dan danika) bersama Sabia dalam menghadapi diagnosa, cobaan dan bagaimana kami menghadapinya. Karena setelah Googling kami tidak menemukan kasus yang serupa dengan yang Sabia alami, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk menuliskannya.

Inilah kisah kami menghadapi ventriculomegaly yang menghinggapi sabia sejak dikehamilan 4 bulan sampai dengan saat ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

Semenjak memutuskan untuk menikah, saya memang menginginkan memiliki 1 anak saja, dengan pertimbangan biaya hidup yang tinggi dan yang terpenting adalah mahalnya biaya pendidikan, maklum saya memang mematok standar yang tinggi untuk urusan pendidikan anak, yaitu bercita-cita harus bisa mengkuliahkan anak di luar

Singkat cerita, 14 April 2011, anak pertama kami lahir secara section pada pukul 17.07 di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kemang Medical Care yang kami bernama “Danika Jasmine Nadjachandani Widiantoro”

2014, dimana Danika telah berumur 3 tahun lebih, Saya akhirnya mulai memikirkan merevisi untuk memiliki anak 1 saja, melihat Danika selalu bermain sendiri, Saya merasa ada sesuatu yang mengganjal ketika Danika bermain, memang sih senang bahkan gembira, namun Saya melihat ada yang kurang, seperti ketika bermain Danika kurang plong karena tidak adanya teman bermain.

Akhirnya kami memutuskan untuk memiliki anak ke-2, dan kami berdua akhirnya bertemu dengan dr Sherly dan mengutarakan niat kami untuk memiliki momongan kembali, dan dr Sherly pun merekomendasikan istri untuk melakukan pemeriksaan TORCH, dan setelah hasil test TORCH keluar dan tidak ditemukan virus yang berbahaya.

Alhamdulilah tidak seperti kehamilan Danika yang menunggu 1 tahun, kali ini untuk kehamilan anak ke-2, Alhamdulilah kami tidak perlu menunggu lama

Tidak hanya kami (saya dan istri) yang senang, Danika juga terlihat sangat senang, karena dia yakin bahwa adiknya perempuan dan akan diajarkan berenang katanya dengan polos. Kehamilan kedua ini memang si Dull (saya memanggil istri) tidak semabok anak pertama, jarang merasa lelah atau kaki bengkak.

Pada usia kandungan di Dull memasukan minggu ke-20 kami disarankan oleh dr. Shierly untuk melakukan USG 4D, seperti pada kehamilan anak pertama, kami akhirnya merujuk pada dokter yang sama yaitu dr Azen Salim spog, kali ini kami tidak menemuinya di RSPI tetapi kami mendatangi tempat prakteknya di BSD.

Setelah melakukan reservasi, akhirnya kami mendapatkan giliran untuk diperiksa . . . .


Betapa kagetnya kami ketika menghetau bahwa kepala adik bayi terdapat cairan berlebih di otak yang dikenal dengan ventrikulomegali. Untuk kasus anak saya adalah terdapat pelebaran ventrikel lateralis 10.8 mm (kiri) dan kanan 10.8 mm (kanan). sistem organ lainnya tidak ditemukan penyimpangan.

Bersambung . . . . Menghadapi Ventriculomegaly

Social media menuju social messaging

10 tahun terakhir kita disibukan dengan bagaimana cara untuk sebuah brand bisa masuk kedalam aktifitas keseharian konsumen, dan 10 tahun itu juga social media menjadi bareng yang ampuh untuk brand masuk ke konsumen tetapi juga menjadi media yang sangat rentan, karena social media bagaikan hutan rimba yang siap menerjang siapapun yang berbuat salah.

Hampir setiap tahun dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, kita khususnya warga negara Indonesia selalu terombang ambing dengan banyaknya social media baru, mulai dari Facebook sampai yang paling kekinian yaitu Snapchat dan Tinder. Jangankan manusia seperti saya, brand hingga media seolah-olah berlomba selalu mengadaptasi bagaimana cara mereka tetap bisa masuk di keseharian konsumen.
Memang social media kini seperti pisau bermata dua, dimana sebuah social media tim membutuhkan manpower yang tidak sedikit, tingkat kreatifitas yang tinggi dan diwajibkan selalu berfikir strategis yang selalu dihadapkan dengan result atau efektifitas social media. 
Namun itulah social media, dunia yang dinamis dan tiada akhir, karena social media kini berevolusi menjadi social messaging!
Hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Digital Indonesia (IDA), messaging apps merupakan spent time tertinggi ketika orang mengakses smartphone, setelah itu baru social media. 
Ini merupakan sebuah pergeseran yang sudah diprediksi dan menjadi keunikan sendiri, ketika social media menawarkan one to many, messenger menawarkan personal to personal yang membuat semua pesan harus disesuaikan dengan setiap individu yang akan menerima pesan tersebut.
Jadi menurut saya, 2016 ini merupakan tahun kebangkitan social messaging, seperti halnya yang kompas.com lakukan dengan masuk ke LINE , tempat dimana berkumpulnya anak muda yang berkomunikasi melalui stiker dan emoji.

Ketika Konten Tidak Membutuhkan HomePage

Berawal dengan FeedBurner
Ketika belum banyak yang menggunakan rss feeds untuk mengcrawl sebuah website, saya salah salah satu dari sedikit orang yang sempat mencoba dan bereksplorasi apa itu rss feed. 
5 tahun lalu, ketika feedburner masih menjadi sebuah aplikasi web independen yang memberikan solusi cara mudah membuat rss feed xml dari blog atau website secara gratis.
Ingat betul betapa atusiasnya saya ketika Google membeli feedburner, secara saya adalah salah satu pengguna Google Reader (GR) yang notabene semua konten GR di generate oleh rss feeds, namun sayang setelah kurang lebih 2 tahun dibeli, akhirnya Google menutup layanan feedburner itu sendiri, entah mungkin kala itu feeds belum menjadi sepenting sekarang.
Social Media Konten
Ketika masih di agency dan sedang pitching sebuah brand Counterpain, saya teringat jelas kala itu boss of the bossnya bertanya kepada saya yang pada saat itu menjabat head of social media, “apa yang akan kamu sajikan kepada fans Counterpain ketika mereka sudah like facebook pages counterpain?” 
Semua hening, tidak ada suara sedikitpun baik dari tim kami atau tim Taisho (counterpain), cukup lama saya membiarkan suasana terdiam sebelum akhirnya saya menjawab, “informasi” jawab saya “ketika seseorang like sebuah facebook page, hal utama yang mereka inginkan adalah sebuah penghetauan baru” “oleh sebab itu pages ini akan menjadi sebuah majalah dimana fans bisa menggali informasi dan berdiskusi dengan kita pemilik brand, dan itulah yang akan menjadi pembeda kita dengan yang lain” kata saya.
Lalu apa hubungannya rss feeds dengan social media konten? 
Saya masih sangat percaya bahwa ketika seseorang masuk ke social media hal utama yang mereka cari adalah informasi, mulai dari apa yang dilakukan teman-temannya, mantan pacar sampai calon gebetan atau hanya mencari peristiwa apa yang sedang ramai (ini gue). Saya pun yakin value sebuah berita itu akan lebih bernilai tinggi jika memiliki atau yang kita yakini memiliki sumber terpercaya baik itu tokoh ataupun media.
Google Reader ketika itu hadir disaat social media belum semapan sekarang, sehingga rss feeds yang dibangun oleh Google melalui Feedburner kurang mendapat ruang bagi publisher (media) kala itu karena jumlah penggunanya masih sedikit dan kurang menghasilkan keuntungan. 
Facebook Instant Articles
Memiliki pangguna 1,5 milyar seluruh dunia, Facebook percaya diri bahwa Instant Articles (IA) tidak akan ditolak oleh publisher seperti halnya Google dengan feedburnernya. Secara teknis GR dengan IA sama, yang menjadi pembeda adalah IA memiliki user sendiri yaitu pengguna Facebook yang masif, sedangkan pengguna GR hanya beberapa orang yang bergelut didunia digital atau suka baca. 
Setelah sukses di Amerika dan Eropa, dan saya yakin IA juga akan mengubah wajah media di Indonesia, dimana user tidak lagi mencari berita namun disajikan langsung di smartphonenya melalui aplikasi social media atau social reader.
Instant articles adalah awal dari kebangkitan social media konten distribution yang perlahan akan diikuti Apple News, Twitter dan Snapchat Discover.
Dengan kata lain apakah homepage masih dibutuhkan ketika konten itu sendiri sudah tidak membutuhkan homepage karena adanya social media dan social reader?

ReNegosiasi Dengan Diri Sendiri

“Siapa sih yang gak bosan kalau bekerja ditempat yang sama selama 15 tahun, gue aja yang belum genap 3 tahun udah uring-uringan” ucap gue dalam hati ketika mendengar ucapan mas Dhanang (D) tadi sore. Yup mas D merupakan direktur bisnis Group of Digital Kompas Gramedia dimana tempat gue bekerja saat ini.
Memang obrolan sore tadi terjadi karena ketidaksengajaan, ketika perut dihinggapi lapar karena istirahat siang diisi dengan main FIFA, akhirnya meminta untuk berkunjung ke kantin untuk diisi aka makan. 
Setelah selesai menghabiskan mie ayam bakso, tidak lama kemudian muncul sosok mas D ini yang mengambil posisi duduk tepat dihadapan gue. Memang sih telinga ini sudah hampir sebulan lalu mendengar kabar bahwa mas D akan pindah, namun kesempatan bertemu dan bertanya memang jarang sekali, mengingat orang ini super sibuk, ehh tak disangka sosok yang ingin gue tanya macem-macem muncul tanpa diundang.
“Emang gak sayang mas?”
“Butuh waktu berapa lama mikirin untuk pindah mas?”
“Emang disini kurang menantang lagi mas?”
Kira-kira itu pertanyaan yang gue tanyakan dari obrolan sore tadi, memang sih standar banget pertanyaan gue, tetapi justru jawaban yang gue dapet tidak sesestandar yang gue tanyakan, nah bingung gak loe 😁😁😁
Tetiba gue teringat pada 3 tahun yang lalu, mungkin dibulan yang sama yaitu april juga, gue di interview sama mas D, untuk posisi social media specialist, ketika itu gue masih bekerja sebagai head of social media di Bounche Indonesia, dan salah satu pertanyaannya adalah “emang gak sayang sama jabatan sekarang, kan di Kompas.com mas mulai dari awal lagi?”
“Saya mencari tantangan, dan nanti saya juga akan jadi manager kok” dengan tingkat kepedean maksimal saya menjawab, dan jawaban itu juga yang saya dapati dari pertanyaan sore tadi, bahwa apa arti sebuah jabatan ketika sifat dasar manusia kita yaitu curious/penasaran yang memiliki kata kerja tantangan mulai terusik dengan rutinitas  tanpa eksplorasi.
Memang 3 tahun adalah waktu yang teramat singkat untuk renegosiasi karier, tetapi dalam jejak karier digital gue, ini merupakan yang pekerjaan terlama loh. Mungkin ini saatnya gue ReNegosiasi dengan diri sendiri mau dibawa kemana rasa penasaran ini?
Salam penasaran 

Menyerah Itu Mudah

Poligami itu mudah, tetap memilih monogami itu yang sulit

Ha ha ha, memang tidak ada hubungan antara menyerah dengan poligami, namun keduanya sebuah kata kerja yang sangat mudah untuk dilakukan. Tidak membutuhkan kecerdasan, analisa dan perencanaan yang terukur, yang dibutuhkan hanyalah sebuah alasan.
   
  
Dunia itu tidak sempurna, dan juga bukan berarti tidak bisa dibuat sempurna, kira kira begitulah perspektif yang saya percayai. Mulai perseteruaan orang tua di masa kecil, perkuliahan dimasa krisis moneter, hingga karir yang perlu terus dikikir untuk tetap tajam.

Forget everything that you think you know 
– Dr Strange

Masih teringat 2 tahun 8 bulan  yang lampau, ketika di tanya oleh salah satu GM Kompas.com “emang gak masalah rub, karir dimulai dari staff lagi, loe kan sekarang manager” dan saya menjawab “gak masalah, toh nanti saya juga pasti jadi manager”. Bukan ingin bersombong, jawaban itu hanyalah sebuah pernyataan saya kepada sang GM bahwa saya “siap menerima tantangan dan sangat menyadari bahwa berkarir di Kompas.com tidak mudah”
Memang sih saya belum menjadi manager, dan belum tentu juga saya ingin menjadi manager lagi, dan yang pasti menyerah itu pilihan yang sangat mudah bagi saya dan saya selalu mendapatkan jalan yang tidak mudah.
Salam Kemudahan